I. Latar Belakang
Berbagai kebijakan dari pemerintah, pihak pihak tertentu atau penguasa penguasa yang cenderung merugikan masyarakat kelas bawah kerap terjadi di negeri ini.sikap sikap otoriter masih menghantui para pemimpin kita, hak dan suara rakyat tidak terpenuhi sesuai harapan. Konflik antara kelompok yang berbeda kepentingan dan perbedaan kelas terjadi. Pemerintah, pengusaha dan berbagai kelompok yang memiliki kekuasaan terjadi pertentangan kepentingan dengan rakyat kecil ( kelas bawah ).
Sebagai contoh penggusuran merupakan masalah yang paling sering terjadi dan terdengar hampir di setiap sudut
Masalah baru kerap timbul ketika eksukusi terhadap rumah atau mata pencaharian mereka dilaksanakan. Kelompok – kelompok sosial tersebut tidak mau menjadi korban tata ruang
Hal yang serupa terjadi beberapa minggu yang lalu di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta terjadi aksi solidaritas dari beberapa elemen mahasiswa yang tergerak dalam satu tujuan yakni menolak penggusuran kantin selatan UMY, elemen - elemen mahasiswa tersebut tergerak dalam satu wadah yakni Ikatan Keluarga Besar Mahasiswa UMY (IKBM UMY) anti penggusuran.
Namun bedanya anarkhisme tidak terjadi seperti protes – protes anti penggusuran lainnya. Pihak rektorat dan pihak mahasiswa sebagai perwakilan pedagang telah memiliki kesepakatan bersama. Cara cara damai seperti itulah yang diinginkan semua pihak apbila terjadi sutu masalah.
II. Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian diatas, masyarakat sebagai bagian dari organisasi yang besar, tentu memiliki struktur tersendiri di dalam setiap kelompoknya. Di dalam struktur tersebut memiliki permasalahan pokok tersendiri, baik antar kelas sosial yang berbeda maupun antar kelas sosial yang sama. Permasalahan tersebut senantiasa mengacu pada konflik. Karena terjadi dalam suatu organisasi maka konflik yang terjadi bersipat konflik struktural. Konflik struktural lahir dari kehidupan sosial. Permasalahan yang timbul dari kasus penggusuran tersebut, bahwa adanya konflik yang terjadi antara pihak penguasa ( yang memiliki otoritas lebih tinggi dalam struktur ) dengan bawahannya yakni kelompok yang struktur sosial berada di bawahnya. Sehingga nantinya akan ada suatu pemaparan mengenai analisis teori konflik struktural, yang secara umum akan menggunakan kerangka pemikiran Ralf Dahrendorf yang menyatakan adanya. Otoritas yang berbeda pada setiap posisi dalam masyarakat.
Kemudian dari beberapa kasus diatas ( kasus penggusuran ), akan dipergunakan kerangka teori dari beberpa ahli lain juga seperti : Talcott Parsson, Auguste comte dan Herbert Spencer,Gramsci serta collins. Sehingga akan memperjelas adanya hubungan antar kelompok sosial ( antar kelas ) dalam lingkungannya. Mampu menjawab apa dan mengapa terjadi konflik dalam struktur sosial ?
III. Analisis Teoritik
Menurut pendekatan auguste comte dan herbert spencers. Seperti halnya bagian dalam organism biologi, bagian-bagian dalam organism sosial itu memiliki sistemnya sendiri (subsistem) yang dalam beberapa hal tertentu dia berdikari. Keduanya melihat adanya interdepedentsi (keterkaitan) antat organ organ tubuh dalam masing-masing fungsinya., kemudian hal itu di anologikan dengan masyarakat. Seperti yang di jelaskan dalam teori fungsionalisme struktural masyarakat merupakan sistem sosial yang terdiri atas struktur – struktur sosial yang fungsional satu sama lain menuju pada keseimbangan, apabila kehilangan fungsi maka struktur sosial dalam sistem sosial tersebut akan kehilangan keberadaannya, atau mengalami ketidakstabilan. Artinya dalam masyarakat setiap subsistem memiliki fungsi berdasarkan kedudukan ( struktur ) masing masing. Dan apabila diantara subsistem tersebut tidak menjalankan fungsinya masing masing ( disfungsi ) maka akan terjadi keretakan dan ketidakseimbangan. Kemudian keretakan keretakan tersebut cenderung mengakibatkan ketegangan yang berujung pada konflik. Hal ini dikuatkan dengan teori Talcott Parson bahwa Sistem sosial senantiasa berproses ke arah integrasi sekalipun terjadi ketegangan, disfungsi dan penyimpangan.
Disfungsi dan penyimpangan kerap dilkukan oleh kelompok yang mendominasi dan memiliki otoritas yang lebih, karena kewenangannya yang disalahgunakan kemudian melewati batas batas fungsi subsistem yang lain. Gramsci (1971) memberikan tekanan pada hegemoni kultural kelas penguasa sebagai bentuk dominasi yang melandasi adanya konflik. Dalam hal ini konflik terjadi dalam masyarakat yang mengalami integrasi terjadi karena dominasi dan paksaan dari penguasa. Pemaksaan terhadap kehendak tersebut dilakukan Karena terdapat kepentingan kepentingan tertentu. Dominasi diartikan sebagai bagian kelompok yang memiliki kekuatan yang lebih terhadap yang lain, sehingga menguasai sebagian besar dari sistem sosial. Dominasi, otoritas dan kepentingan menjadi konsep kunci dalam teori konflik Dahrendorf.
Ralf Dahrendorf salah satu tokoh yang berpendirian bahwa masyarakat memiliki dua wajah yaitu konflik dan konsensus. Menurut teori konflik Dahrendorf sendiri “masyarakat dipersatukan oleh ketidakbebasan yang dipaksakan.” Maksudnya posisi tertentu dalam masyarakat mewakili kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Dalam hal ini Dahrendorf membedakan kelas dalam sistem sosial berdasarka kualitas otoritasnya. Perbedaan distribusi otoritas inilah yang oleh Dahrendorf menetukan konflik sosial sistematis. Dahrendorf memusatkan perhatian pada struktur sosial yang lebih luas. Otoritas tidal terletak dalam diri individu tetapi dalam posisi, tetapi juga pada konflik antara berbagai struktur posisi itu. Otoritas yang melekat pada posisi adalah unsur kunci dalam anlisis Dahrendorf. Otoritas secara tersirat menyatakan superordinasi dan subordinasi. Mereka yang menduduki posisi otoritas diharapkan mengendali bawahan. Artinya mereka berkuasa karena harapan dari orang yang berada disekitar meraka, bukan karena ciri psiologis mereka sendiri. Menurut Dahrendorf otoritas tidak konstan karena terletak dalam posisi, bukan di dalam diri orangnya. Artinya seseorang yang berwenang dalam satu lingkungan tertentu tidak harus memegang posisi otoritas didalam lingkungan yang lain. Begitu pula seseorang yang berda dalam posisi subordinat dalam satu kelompok mungkin menempati posisi superordinat dalam kelompok lain.
Otoritas dalam setiap asosiasi bersipat dikotomi. Yaitu kelompok yang memegang posisi otoritas dan kelompok subordinat yang memiliki kepentingan tertentu “ yang arah dan substansinya saling bertentangan. Kepentingan merupakan konsep lain dalam teori konflik Dahrendorf. Kelompok yang berada diatas dan yang berada dibawah di definisikan berdasarkan kepentingan. Di dalam setiap kelompok, orang yang berada dalam posisi dominan berupaya mempertahankan status quo, sedangkan orang yang berda di bawah atau pada posisi subordinat berupaya mengadakan perubahan. Konflik kepentingan selalu ada dalam setiap asosiasi setidaknya masih tersembunyi.(dari teori sosiologi modern)
Konflik struktural lahir dari kehidupan sosial yang terbagi bagi dalam berbagai kelas. Yakni pertama kelas penguasa ( superordinat ), bukan hanya mendominasi dalam bentuk jumlah tetapi juga dalam politik dan ekonomi. Kedua kelas atau strtifikasi sosial dibawah kelas penguasa ( subordinat ). Konflik yang terjadi antara kelas penguasa dan kita sebut saja kelas bawah akan melahirkan konflik struktural yang bersipat vertikal antar keduanya. Intinya pertentangan antara kelas kelas sosial pada umumnya disebabkan oleh perbedaan kepentingan
Konflik akan cenderung lama jika antar sistem atau antar subsistem tidak ada kesepakatan bersama dan adaptasi ( penyesuaian) yang terlalu lama mengenai perubahan-perubahan dan konflik yang terjadi. Adaptasi menurut Talcott parson sendiri sebagai sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Gawat dalam hal ini adalah segala kekuatan eksternal yang mengakibatkan konflik dalam perubahan sosial.
Konflik identik dengan anrkhisme, ketika masalah yang dihadapi tidak kunjung usai maka anrkhisme sebagai jalan keluar dari masalah itu. Collins (1975) berpendapat bahwa pemaksaan termasuk kekerasan sebagai cara penting untuk mengendalikan konflik. Dengan pemaksaan dan kekerasan akan memperlihatkan secara jelas adanya ketidakseimbangan antara kekuatan kekuatan pihak pihak yang mengalami bentrokan, sehingga menyebabkan dominasi oleh satu pihak terhadap lawannya. Kedudukan pihak yang didominasi tadi adalah sebagai pihak yang takluk terhadap kekuasaan lawannya secara tepaksa. Kemudian pihak yang takluk tersebut harus menyesuaikan diri terhadap sistem yang baru atau terhadap sistem yang di tentukan. Agar menuju pada keseimbangan..
Adapun akibat akibat dari bentuk konflik atau pertentangan adalah :
1. bertambahnya solidaritas in-group. Apabila suatui kelompok bertentangan dengan kelompok lain, maka solidaritas antar warga warga kelompok biasanya bertambah erat. Mereka bahkan bersedia berkorban demi keutuhan kelompok.
2. retaknya persatuan kelompok apabila konflik terjadi dalam satu kelompok tertentu.
3. perubahan keperibadian individu. Karena adanya rasa simpati pada kedua kelompok yang bertikai. Akan merasa tertekan dan menyiksa mental.
4. hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia.
5. akomodasi,dominasi dan takluknya salah satu pihak. Akomodasi jika kekuatan kedua pihak seimbang, dominasi jika tidak seimbang antar kekuatan kekuatan yang bertikai.
Kemudian dari semua akibat tersebut akan menetukan lahir atau tidaknya perubahan sosial. Tergantung dari akibat apa yang ditimbulkan
IV. Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan di atas, hal yang paling pokok mengapa terjadinya konflik adalah perbedaan kepentingan dari berbagai pihak. Hal itu akan mengakibatkan dikotomi, terbentuknya dua kelompok yang memiliki kepentingan yang bertentangan. Kelompok tersebut dapat terbagi dalam beberapa kelas yang berbeda. Yakni kelas yang memiliki kualitas otoritas lebih dan kelas di bawahnya. Pertentangan atau konflik tersebut akan memperlihat ada atau tidaknya perbedaan kualitas otoritasi. Pertikaian seperti ini cenderung disebut sebagai konflik struktural yang bersipat vertikal ( kelas atas dan kelas bawah ). Jika terjadi dalam kelas yang sama maka di sebut sebagai konflik yang bersipat horizontal.
Ada dua hasil akhir dari konflik. Pertama jika dalam hasil akhir konflik tersebut adanya penaklukan terhadap kelompok lain maka akan terjadinya dominasi, dan konflik cenderung lama tergantung adaptasi terhadap perubahan tersebut.
Kedua, konflik akan bersipat akomodasi jika terjadi keseimbangan dari pihak yang bertikai. Keseimbangan bukan hanya dari segi otoritas, jumlah, dan sebagainya, namun tercapainya keseimbangan kepentingan yang dibawa masing masing kelompok.
Contoh yang terjadi di universitas muhammadiyah Yogya, konflik kepentingan terjadi antara pihak rektorat sebagai kelas yang memiliki kualitas otoritas lebih daripada kelas pedagang dan mahasiswa. Konflik tidak berlangsung lama karena adanya pencapaian keseimbangan antara kedua pihak sehingga akhir dari konflik bersipat akomodasi. Konflik tersebut kemuadian justru meningkatkan solidaritas antara mahasiswa dan pedagang.